Selasa, 26 September 2017

LAGU WAJIB NASIONAL

Senin, 25 September 2017

MATERI OTONOMI DAERAH

Selasa, 12 September 2017

BIMTEK GURU PPKn 5-10 JUNI 2017 TINGKAT KOTA BEKASI

BEBERAPA REVISI MENDASAR KURIKULUM 2013

EMPAT PILAR KEBANGSAAN

EMPAT PILAR KEBANGSAAN




A.   Pengertian Pilar Kebangsaan
Berbicara tentang pancasila mungkin dianggap sudah begitu klasik dan membosankan bagi sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru oleh gerakan Reformasi yan memuncak dipertengahan Mei 1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilakukan dan secara sadar mulai dikubur dalam-dalam dari ingatan kita sendiri. Termasuk pada peringatan kelahirannya yang ke-68 tahun ini, pun terasa begitu sia-sia saja, seakan tidak ada urgensinya sama sekali untuk dirayakan atau sekedar direfleksikan dan menjadi perhatian bersama.
Bila dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu, Ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi 4 pilar kebangsaan Indonesia, yakni :
  1. Pancasila
  2. Bhineka Tunggal Ika
  3. Undang Undang Dasar 1945
  4. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Terlebih dahulu kita mulai dari mengenal kata “Pilar”, Pilar adalah tiang penguat atau penyangga. Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan menentukan, karena bila pilar ini tidak kokoh atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang disanggannya. Dalam bahasa Jawa tiang penyangga bangunan atau rumah ini disebut ”soko”, bahkan bagi rumah jenis joglo, yakni rumah yang atapnya menjulang tinggi terdapat empat soko di tengah bangunan yang disebut soko guru. Soko guru ini sangat menentukan kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang besar dan dari jenis kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang bertempat di rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat dari berbagai bencana dan gangguan. Demikian pula halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan pilar atau soko guru yang merupakan tiang penyangga yang kokoh agar rakyat yang mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram dan sejahtera, terhindar dari segala macam gangguan dan bencana.
Selanjutnya bila dihubungkan dengan 4 Pilar Kebangsaan, artinya ada 4 tiang penguat atau penyangga yang sama-sama kuat, untuk menjaga keutuhan berkehidupan kebangsaan Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 4 Pilar Kebangsaan adalah 4 penyangga yang menjadi panutan dalam keutuhan bangsa Indonesia.
Gagasan yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Pak Taufiq Kiemas, 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta semua sendi kehidupan bernegara.


B.   Isi 4 Pilar Kebangsaan
 A. PILAR PANCASILA
Pilar pertama bagi tegak kokoh berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah Pancasila. Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila diangkat sebagai pilar bangsa Indonesia. Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat diterima oleh seluruh warga bangsa, mengapa bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut alasannya.
Pilar atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, yakni disamping kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya. Misal bangunan rumah, tiang yang diperlukan disesuaikan dengan jenis dan kondisi bangunan. Kalau bangunan tersebut sederhana tidak memerlukan tiang yang terlalu kuat, tetapi bila bangunan tersebut merupakan bangunan permanen, konkrit, yang menggunakan bahan-bahan yang berat, maka tiang penyangga harus disesuaikan dengan kondisi bangunan dimaksud. Demikian pula halnya dengan pilar atau tiang penyangga suatu negara-bangsa, harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa yang disangganya. Kita menyadari bahwa negara-bangsa Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas seluas daratan Eropah yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote, meliputi ribuan kilometer. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17 000 pulau lebih, terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan, maka belief system yang dijadikan pilar harus sesuai dengan kondisi negara bangsa tersebut.
Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang pluralistik. 
Pancasila sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Negara Indonesia adalah negara hukum, yang bermakna bahwa hukum harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Setiap kegiatan dalam negara harus berdasar pada hukum, dan setiap warganegara harus tunduk dan taat pada hukum. Perlu kita sadari bahwa satu-satunya norma kehidupan yang diakui sah untuk memaksa warganya adalah norma hukum, hal ini berarti bahwa aparat pemerintah memiliki hak untuk memaksa, dan apabila perlu dengan kekerasan, terhadap warganegara yang tidak mau tunduk dan tidak mematuhi hukum. Memaksa adalah hak asasi aparat penyelenggara pemerintahan dalam menegakkan hukum. 
Suatu negara yang tidak mampu menegakkan hukum akan mengundang terjadinya situasi yang disebut anarkhi. Sebagai akibat warganegara berbuat dan bertindak bebas sesuka hati, tanpa kendali, dengan berdalih menerapkan hak asasi, sehingga yang terjadi adalah kekacauan demi kekacauan. Dewasa ini berkembang pendapat dalam masyarakat, aparat yang dengan tegas menindak perbuatan warganegara yang mengacau dinilai sebagai melanggar hak asasi manusia, bahkan sering diberi predikat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kita perlu sadar bahwa negara-bangsa Indonesia dewasa ini sedang dijadikan bulan-bulanan dalam penerapan dan pembelaan hak asasi manusia. Negara-bangsa Indonesia dibuat lemah tidak berdaya, sehingga kekuatan luar akan dengan gampang untuk menghancurkannya. Untuk menangkal pengaruh tersebut negara-bangsa Indonesia harus menjadi negara yang kokoh, berpribadi, memiliki karakter dan jatidiri handal sehingga mampu untuk menangkal segala gangguan. 
Agar dalam penegakan hukum ini tidak dituduh sebagai tindak sewenang-wenang, sesuka hati penguasa, melanggar hak asasi manusia, diperlukan landasan yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diterima oleh rakyat. Landasan tersebut berupa cita hukum atau rechtsidee yang merupakan dasar filsafati yang menjadi kesepakatan rakyat Indonesia. Pancasila sebagai cita hukum mengejawantah dalam dasar negara, yang dijadikan acuan dalam menyusun segala peraturan perundang-undangan. Pancasila merupakan common denominator bangsa, kesepakatan bangsa, terbukti sejak tahun 1945 Pancasila selalu dicantumkan sebagai dasar negara. Pancasila dipandang cocok dan mampu dijadikan landasan yang kokoh untuk berkiprahnya bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum, dalam menjamin terwujudnya keadilan. 
 B. PILAR UNDANG-UNDANG DASAR 1945 
Pilar kedua kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memahami dan mendalami UUD 1945, diperlukan memahami lebih dahulu makna undang-undang dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Tanpa memahami prinsip yang terkandung dalam Pembukaan tersebut tidak mungkin mengadakan evaluasi terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya dan barbagai undang-undang yang menjadi derivatnya. 
      Makna Undang Undang
Beberapa pihak membedakan antara pengertian konstitusi dan undang-undang dasar. Misal dalam kepustakaan Belanda, di antaranya yang disampaikan oleh L.J. van Apeldoorn, bahwa konstitusi berisi seluruh peraturan-peraturan dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang berisi prinsip-prinsiup dan norma-norma hukum yang mendasari kehidupan kenegaraan, sedang undang-undang dasar hanya memuat bagian yang tertulis saja. Istilah undang-undang dasar sangat mungkin terjemahan dari grondwet (bahasa Belanda), yang berasal dari kata grond yang bermakna dasar dan wet yang berarti hukum, sehingga grondwet bermakna hukum dasar. Atau mungkin juga dari istilah Grundgesetz yang terdiri dari kata Grund yang bermakna dasar dan Gesetz yang bermakna hukum. Sangat mungkin para founding fathers dalam menyusun rancangan UUD mengikuti pola pikir ini.
 C. PILAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
            Sebelum kita bahas mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia ada baiknya bila kita fahami lebih dahulu berbagai bentuk Negara yang ada di dunia, apa kelebihan dan kekurangannya, untuk selanjutnya kita fahami mengapa para founding fathers negara ini memilih negara kesatuan.
Bentuk Negara seperti konfederasi, federasi dan kesatuan, menurut Carl J. Friedrich, merupakan bentuk pembagian kekuasaan secara teritorial atau territorial division oif power. Berikut penjelasan mengenai bentuk-mentuk Negara tersebut.
  1. Konfederasi.  Menurut pendapat L. Oppenheim dalam bukunya Edward M. Sait menjelaskan bawa :”A confederacy consists of a number of full sovereign states linked together for the maintenance of their external and internal independence by a recognized international treaty into a union with organs of its own, which are vested with a certain power over the members-states, but not over the citizens of these states.” Oleh Prof. Miriam Budiardjo diterjemahkan sebagai berikut :”Konfederasi terdiri dari beberapa negarza yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara negara-negara itu.Contoh konfederasi adalah Negara Amerika Serikat yang terdiri atas 13 negara bekas koloni jajahan Inggris. selama 8 tahun yang berakhir pada tahun 1789, karena dipandang merupakan bentuk negara yang kurang kokoh, karena tidak jelas bentuk kepalan negaranya
  2. Negara Federal.  Ada berbagai pendapat mengenai negara federal, karena negara federal yang satu berbeda dengan negara yang lain dalam menerapkan division of power. Menurut pendapat K.C. Wheare dalam bukunya Federal Government, dijelaskan bahwa prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan dari pemerintah negara bagian, sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya, pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal 
  3. Negara Kesatuan.  Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian sepenuhnya terletak pada pemerin-tah pusat. Dengan demikian maka kedaulatannya tidak terbagi. Marilah kita mencoba menelaah, sejauh mana Pembukaan UUD 1945 memberikan akomodasi terhadap bentuk negara tertentu, federasi atau kesatuan.          Pada alinea kedua disebutkan :” . . . dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kata atau istilah bersatu tidak dapat dimaknai bahwa kedaulatan negara terpusat atau terdistribusi pada pemerintah pusat dan negara bagian, sehingga tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan apakah Negara Republik Indonesia berbentuk federal atau kesatuan.          Mungkin salah satu landasan argument bagi bentuk negara adalah rumusan sila ketiga yakni “persatuan Indonesia.” Landasan inipun dipandang tidak kuat sebagai argument ditentukannya bentuk negara kesatuan. Untuk itu perlu dicarikan landasan pemikiran mengapa bangsa Indonesia menentukan bentuk Negara Kesatuan, bahkan telah dinyatakan oleh berbagai pihak sebagai ketentuan final. 
          Bentuk Negara Kesatuan adalah ketentuan yang diambil oleh para founding fathers pada tahun 1945 berdasarkan berbagai pertimbangan dan hasil pembahasan yang cukup mendalam. Namun dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia pernah juga menerapkan bentuk negara federal sebagai akibat atau konsekuensi hasil konferensi meja bundar di Negeri Belanda pada tahun 1949. Namun penerapan pemerintah federal ini hanya berlangsung sekitar 7 bulan untuk kemudian kembali menjadi bentuk Negara kesatuan.          
Sejak itu Negara Replublik Indonesia berbentuk kesatuan sampai dewasa ini, meskipun wacana mengenai negara federal masih sering timbul pada permukaan, utamanya setelah Negara-bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Namun nampaknya telah disepakati oleh segala pihak bahwa bentuk negara kesatuan merupakan pilihan final bangsa.          
Untuk dapat memahami bagaimana pendapat para founding fathers tentang negara kesatuan ini ada baiknya kita sampaikan beberapa pendapat anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.        
Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, di antaranya mengusulkan sebagai dasar negara yang akan segera dibentuk adalah faham kebangsaan, sebagai landasan berdirinya negara kebangsaan atau nationale staat. Berikut kutipan beberapa bagian dari pidato tersebut. “Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan suatu kesatuan, melainkan hanya satu bagian daripada satu kesatuan. Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya sebagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat Rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun satu bagian kecil daripada kesatuan.            
Dari kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan landasan argumentasi bagi terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita ikuti lebih lanjut pidato Bung Karno yang justru memberikan gambaran negara kebangsaan pada negara-negara federal seperti Jermania Raya, India dan sebagainya. Dengan demikian sila ketiga Pancasila “persatuan Indonesia,” tidak menjamin terwujudnya negara berbentuk kesatuan, tetapi lebih ke arah landasan bagi terbentuknya negara kebangsaan atau nation-state. Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para founding fathers lebih mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak zaman penjajahan, waktu perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia. Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah dan kuasai. Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan kesatuan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat dipatahkan oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang dipergunakan sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara kesatuan. 

 D. PILAR BHINNEKA TUNGGAL IKA
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.  Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh mPu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36 A UUD 1945. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan “e Pluribus Unum”, Semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu.  Kutipan tersebut berasal dari pupuh biat, kekawin Sutasoma yang lengkapnya sebagai berikut:  Jawa Kuna  ~Alih bahasa Indonesia~  Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,  Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.  Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,  Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?  Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, 
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal  Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.  Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Sasanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, dijadikan semboyan dan pegangan bangsa dalam membawa diri dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya , seperti yang dinyatakan :” Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.” 
Selanjutnya dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan :”Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan voksgemeenschappen. Daerah daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Maknanya bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan perlu ditampung keanekaragaman atau kemajemukan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang Dasar Sementera tahun 1950, pasal 3 ayat (3) menentukan perlunya ditetapkan lambang negara oleh Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut terbit Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Baru setelah diadakan perubahan UUD 1945, dalam pasal 36A menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.             Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 disebutkan bahwa :
Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:  1. Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya;  2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan  3. Semboyan yang ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA. 

C.    OPINI PARA AHLI TERHADAP PANCASILA DALAM 4 PILAR
Namun belakangan ini, gagasan 4 Pilar Kebangsaan ini dihuhat oleh sejumlah kalangan yang tidak setuju penempatan Pancasila sebagai Pilar Kebangsaan. Menurut mereka, Pancasila sebagai pondasi dasar, bukan salah satu pilar dalam kehidupan kebangsaan.  
Selain itu, beberapa kalangan menganggap 4 Pilar Kebangsaan itu menjadi sebuah doktrin baru yg sesungguhnya tidak perlu, yang akan mengakibatkan para pelajar hanya akan hafal 4 Pilar Kebangsaan secara mendetail, sementara Pancasila hanya menjadi salah satu pilar saja di antara 4 Pilar Kebangsaan itu. Jadi secara psikologis doktrin 4 Pilar Kebangsaan itu sangat berbahaya bagi kelestarian Pancasila
  
 D.    CARA MENJAGA 4 PILAR KEBANGSAAN
Ada empat pendekatan untuk menjaga empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat pendekatan tersebut yaitu pendekatan kultural, edukatif, hukum, dan struktural, dibutuhkan karena saat ini pemahaman generasi muda terhadap 4 pilar kebangsaan menipis.
  1. Pendekatan kultural adalah dengan memperkenalkan lebih mendalam tentang budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap mengedepankan norma dan budaya bangsa. Pembangunan yang tepat, harus memperhatikan potensi dan kekayaan budaya suatu daerah tanpa menghilangkan adat istiadat yang berlaku. Generasi muda saat ini adalah calon pemimpin bangsa, harus paham norma dan budaya leluhurnya. Sehingga di masa depan tidak hanya asal membangun infrasturktur modern, tetapi juga menyejahterakan masyarakat.
  2. Pendekatan edukatif perlu karena saat ini sangat marak aksi kriminal yang dilakukan generasi muda, seperti tawuran, pencurian, bahkan pembunuhan. Kebanyakan aksi tersebut terjadi saat remaja berada di luar sekolah maupun di luar rumah. Oleh sebab itu perlu ada pendidikan di antara kedua lembaga ini. Di rumah kelakuannya baik, di sekolah juga baik. Namun ketika di antara dua tempat tersebut, kadang remaja berbuat hal negatif. Ini yang sangat disayangkan. Orangtua harus mencarikan wadah yang tepat bagi anaknya untuk memaknai empat pilar kebangsaan semisal lewat kegiatan di Pramuka.
  3. Pendekatan hukum adalah segala tindakan kekerasan dalam bentuk apapun harus ditindak dengan tegas, termasuk aksi tawuran remaja yang terjadi belakangan. Norma hukum harus ditegakkan agar berfungsi secara efektif sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku kriminal sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain.
  4. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan struktural. Keempat pilar ini perlu terus diingatkan oleh pejabat di seluruh tingkat. Mulai dari Ketua Rukun Tetangga, Rukun Warga, kepala desa, camat, lurah sampai bupati/wali kota hingga gubernur.Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.

sumber:
1. Buku PKN Kelas X-XII
2. https://www.facebook.com/notes/mila-septia-sari/empat-pilar-kebangsaan-makalah-   pkn/607166876007923/

PANDUAN PENILAIAN KURIKULUM 2013 EDISI REVISI 2017

Kamis, 07 September 2017

TULISAN SAYA DI KOMPASIANA: Pentingnya Pendidikan Nilai

endidikan merupakan topik yang menarik dan senantiasa aktual untuk dibicarakan, tetapi sekaligus merupakan persoalan yang rumit dan terkesan tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Hal ini dapat dimaklumi, sebab terdapat begitu banyak unsur yang harus diperhitungkan dan berbagai aspek yang bisa dipakai untuk dipertimbangkan dalam pendidikan. Belum lagi persoalan perubahan zaman yang mesti dihadapi baik oleh setiap upaya pendidikan maupun perundang-undangan dan cara-cara regulasi pendidikan yang ditetapkakn oleh pemerintah.
Ada dua arah menyangkut dunia pendidikan. Arah pertama berkaitan dengan pemikiran dasar yang mendalam, karena menyangkut kepentingan utama (peserta didik) pendidikan yang mempersoalkan hakikat pendidikan. Arah inilah yang disebut filsafat pendidikan atau pemikiran dasar pendidikan. Menurut N. Driyarkara, arah dasar ini adalah “pemanusiaan” atau proses yang meliputi humanisasi dan hominisasi, proses membentuk sosok profil manusia dengan mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki penampilan fisik yang sehat, normal, dan wajar kelakuannya. artinya, praktik penyelenggaraan (dalam hal stake holder) pendidikan harus selalu mengacu pada dua hal penting, yakni proses humanisasi dan hominisasi.
Dari arti katanya saja sudah jelas. Humanisasi berarti proses membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga memiliki mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan tentu saja berbudaya. Selain itu, kita mengedepankan lima visi dasar pendidikan manusia abad ke-21 sebagaimana pernah diajukan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific, and Cultural Organization).
Pertama, learning how to think (belajar bagaimana berpikir) yang memuat aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan rasionalitas, keberanian bersikap kritis, mandiri, hobi membaca; kedua, learning how to do (belajar hidup) yang memuat aspek-aspek keterampilan dalam keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; ketiga, learning to be (belajar menjadi diri sendiri) yang berarti aspek mendidik orang agar dikemudian hari orang bisa tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan sekadar memiliki having (materi).
"Being" dan "having", dua kategori filosofis yang mengacu pada cara berada manusia, kedua hal itu sebaiknya kita bedakan, karena sekarang ini orang modern dengan mudah bisa menyamakan keduanya seperti yang sering kita lihat dalam slogan-slogan you are what you have! (pribadi anda ditentukan menurut apa yang anda miliki).
Di sini having punya variasi begitu banyak seperti you are what you wear/drive/eat..., dan seterusnya. Keempat adalah learning how to learn (belajar untuk belajar hidup) yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang perlu juga mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imaginatif. Sedangkan aspek kelima adalah learning how to live together (belajar hidup bersama) yang mensyaratkan pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik dan budaya lain. Di sinilah pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas pelestarian lingkungan, toleransi, perdamaian, penghormatan HAM, menjadi perlu diperhatikan.
Untuk menghidupkan teori-teori diatas tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab guru. Guru yang mendesain pembelajaran harus mampu “membaca tanda-tanda zaman” dalam proses perkembangan peserta didik, seperti unsur-unsur mana yang perlu mendapat perhatian khusus dalam hal ini, aspek-aspek mana dari peserta didik yang perlu dikembangkan, konteks atau lingkungan mana yang perlu diarahkan karena terjadinya perubahan sosial. Mendesaian pembelajaran yang kontekstual merupakan persoalan konkret yang di alami oleh guru dewasa ini.
Untuk itu, guru dituntut agar mampu menerjemahkan kurikulum secara inovatif, kreatif, efektif, dan efesien serta kontekstual atau sesuai dengan kebutuhan sekolah. Guru harus menyadari bahwa perubahan kurikulum bukan sebuah beban baru dalam hal administrasi tetapi sebuah tantangan bagaimana guru menggali kompetensi untuk mendesain pembelajaran yang aktual dan kontekstual.

TULISAN SAYA DI KOMPASIANA: Non Scholae Sed Vitae Discimus

Kita sekolah bukan hanya untuk belajar, melainkan untuk hidup. Itulah arti dari dari judul artikel ini. Secara struktural, peran serta negara dalam hal ini Pemerintah dalam bidang pendidikan mulai nampak secara nyata sejak pemerintahan Hindia Belanda. Prinsip pendidikan diselenggarakan agar peserta didik kelak kemudian hari mampu mencari dan mendapat penghidupan atau pekerjaan untuk kepentingan kolonial. Kebetulan pula pada abad ke-18  Eropa landa oleh pemikiran aufklarung, penekan pada akal sehat dan kemerdekaan pribadi ikut mempengaruhi ideologi pendidikan.
Di Indonesia peran Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional makin menonjol. Agenda nasionalisme secara sistematis (dan juga Hegemonik) disusupkan dalam sistem pendidikan nasional melalui berbagai perangkat sistem mulai dari kurikulum beserta segala perangkatnya termasuk ujian nasional dan standardisasinya. Agenda nasionalisme dijalankan seringkali mengabaikan keberagamaan dan kearifan lokal dari berbagai daerah serta kekhasan institusi masing-masing-masing.
Sekolah harus memiliki kekhasan (karakter)
Kekhasan sekolah tergantung seberapa dalam stakeholder menerjemahkan visi misi ke dalam pembelajaran. Visi misi yang hidup akan nampak warna sekolah. Namun hal yang paling penting dalam pendidikan bagaimana mendorong dan merangsang peserta didik supaya mengenal, mengerti, mencintai, memelihara, dan mengembangkan alam sekitarnya. Keterpaduan antara kemampuan pikir, rasa, tindakan, dan kesadaran dapat dikembangkan langsung dalam kaitannya dengan kehidupan peserta didik secara nyata. Hal ini tidak luput dari peran guru sebagai fasilitator, motivator, Agent of change, dan identitas nasional. Keempat model peran ini harus  berfungsi untuk memperhatikan dan memenuhi kebutuhan peserta didik dalam aspek rohani, intelektual, moral, etika, kepribadian, nasionalisme. Perubahan sikap dan mental tidak sekedar perubahan kurikulum atau pendekatan tetapi lebih pada pola sikap ingarso sung tulodo, Ing madyo Mangun karso, Tut wuri handayani.

TULISAN SAYA DI KOMPASIANA: Filsafat Pendidikan

Untuk mengkaji aliran pendidikan nilai dan moral dalam pendidikan nilai, perlu ditelusuri pijakan filosofisnya terlebih dahulu, terutama yang berhubungan dengan aliran filsafat pendidikan. Sementara pembahasan filsafat pendidikan memiliki aneka ragam skema. Donald Butler dalam bukunya Four Philosophies and Their Practice in Education yang menerima aliran-aliran filsafat klasik (idealisme, realisme, Eksistensialisme, dan pragmatisme) yang dirumuskan dan dimplikasin dalam pelaksanaan pendidikan. Akar pijakan filsafat pendidikan nilai tidak mungkin ditelusuri satu persatu karena begitu banyak filsuf yang memberikan kontribusi terhadap pendidikan nilai. Istilah pendidikan nilai baru populer pada abad 20 dan belum ada usaha yang serius dalam bidang kurikulum pendidikan kita. Tokoh-tokoh yang memberikan sumbangan terhadap pendidikan nilai antara lain Thomas Hobbes yang dianggap tokoh kontrak sosial, Jean Jaquues Rousseau sebagai tokoh naturalisme, immanuel Kant sebagai tokoh rasionalisme, dan Lawrence Kohlberg sebagai cognitive moral development. Untuk menghidupkan atau mengaplikasikan aliran filsafat serta filsafat pendidikan dalam pendidikan nilai, perlu adanya pemahaman terhadap sudut pandang sekolah dalam menerima tanggung jawab pembinaan nilai. Agar filsafat pendidikan dapat dirumuskan dengan tepat perlu pemahaman tentang dunia filsafat. Pada awal peradaban manusia, sesungguhnya dirintis oleh pemikiran filsafat. Maka filsafat disebut landasan dan induk ilmu pengetahuan. Agar lebih terarah maka akan dijelaskan: 1. Makna filsafat. Dalam konteks pendidikan, filsafat berarti cinta ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam hal ini orang akan selalu berusaha mencari kebenaran dan kebijaksanaan yang berlanjut pada sebuah ajaran atau pandangan hidup dan menjadi sebuah sistem nilai yang selalu diwariskan secara turun temurun. Karena itu wajarlah kita percaya bahwa bangsa Indonesia mewariskan sistem filsafat Pancasila sebagai tata nilai mendasar awal peradaban. 2. Tujuan dan Fungsi Filsafat Kodrat manusia ialah ingin hidup terus untuk melestarikan dirinya. Ini merupakan naluri yang terpenting dan menjadi kunci perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya hidupnya. Dengan demikian tujuan filsafat ialah memahami hakikat keyakinan yang menjadi pedoman kehidupan. Apabila manusia yakin akan hakikatnya kebenaran maka ia menjadikannya sebagai pandangan hidup. 3. Macam-macam aliran filsafat. Perbedaan kondisi alam lingkungan hidup sangat berpengaruh terhadap tata kehidupan. Makanya ada filsafat timur dan filsafat barat, karena mempunyai kepribadian atau identitas sendiri. Perbedaan-perbedaan itu dapat melahirkan filsafat yang berbeda, aliran-aliran filsafat yang beranekaragam, seperti: materialisme, idealisme, dan realisme. Memahami identitas diatas karena perbedaan pendekatan dan metode berpikir sehingga dalam penghayatan nilai dan dalam tindakan pun berbeda. Sekian