endidikan merupakan topik yang menarik dan senantiasa aktual untuk
dibicarakan, tetapi sekaligus merupakan persoalan yang rumit dan
terkesan tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Hal ini dapat
dimaklumi, sebab terdapat begitu banyak unsur yang harus diperhitungkan
dan berbagai aspek yang bisa dipakai untuk dipertimbangkan dalam
pendidikan. Belum lagi persoalan perubahan zaman yang mesti dihadapi
baik oleh setiap upaya pendidikan maupun perundang-undangan dan
cara-cara regulasi pendidikan yang ditetapkakn oleh pemerintah.
Ada
dua arah menyangkut dunia pendidikan. Arah pertama berkaitan dengan
pemikiran dasar yang mendalam, karena menyangkut kepentingan utama
(peserta didik) pendidikan yang mempersoalkan hakikat pendidikan. Arah
inilah yang disebut filsafat pendidikan atau pemikiran dasar pendidikan.
Menurut N. Driyarkara, arah dasar ini adalah “pemanusiaan” atau proses
yang meliputi humanisasi dan hominisasi, proses membentuk sosok profil
manusia dengan mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki
penampilan fisik yang sehat, normal, dan wajar kelakuannya. artinya,
praktik penyelenggaraan (dalam hal stake holder) pendidikan harus selalu
mengacu pada dua hal penting, yakni proses humanisasi dan hominisasi.
Dari
arti katanya saja sudah jelas. Humanisasi berarti proses membawa dan
mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga memiliki
mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu mempunyai kemampuan
untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan tentu saja
berbudaya. Selain itu, kita mengedepankan lima visi dasar pendidikan
manusia abad ke-21 sebagaimana pernah diajukan oleh UNESCO (United
Nations Educational Scientific, and Cultural Organization).
Pertama,
learning how to think (belajar bagaimana berpikir) yang memuat
aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan rasionalitas, keberanian
bersikap kritis, mandiri, hobi membaca; kedua, learning how to do
(belajar hidup) yang memuat aspek-aspek keterampilan dalam keseharian
hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; ketiga,
learning to be (belajar menjadi diri sendiri) yang berarti aspek
mendidik orang agar dikemudian hari orang bisa tumbuh berkembang sebagai
pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan sekadar memiliki
having (materi).
"Being" dan "having", dua kategori filosofis
yang mengacu pada cara berada manusia, kedua hal itu sebaiknya kita
bedakan, karena sekarang ini orang modern dengan mudah bisa menyamakan
keduanya seperti yang sering kita lihat dalam slogan-slogan you are what
you have! (pribadi anda ditentukan menurut apa yang anda miliki).
Di
sini having punya variasi begitu banyak seperti you are what you
wear/drive/eat..., dan seterusnya. Keempat adalah learning how to learn
(belajar untuk belajar hidup) yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman
sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang perlu juga
mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imaginatif. Sedangkan
aspek kelima adalah learning how to live together (belajar hidup
bersama) yang mensyaratkan pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan
kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama
banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik dan
budaya lain. Di sinilah pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas
pelestarian lingkungan, toleransi, perdamaian, penghormatan HAM, menjadi
perlu diperhatikan.
Untuk menghidupkan teori-teori diatas
tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab guru. Guru yang mendesain
pembelajaran harus mampu “membaca tanda-tanda zaman” dalam proses
perkembangan peserta didik, seperti unsur-unsur mana yang perlu mendapat
perhatian khusus dalam hal ini, aspek-aspek mana dari peserta didik
yang perlu dikembangkan, konteks atau lingkungan mana yang perlu
diarahkan karena terjadinya perubahan sosial. Mendesaian pembelajaran
yang kontekstual merupakan persoalan konkret yang di alami oleh guru
dewasa ini.
Untuk itu, guru dituntut agar mampu menerjemahkan
kurikulum secara inovatif, kreatif, efektif, dan efesien serta
kontekstual atau sesuai dengan kebutuhan sekolah. Guru harus menyadari
bahwa perubahan kurikulum bukan sebuah beban baru dalam hal administrasi
tetapi sebuah tantangan bagaimana guru menggali kompetensi untuk
mendesain pembelajaran yang aktual dan kontekstual.
Kamis, 07 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar