Kamis, 07 September 2017

TULISAN SAYA DI KOMPASIANA: Pentingnya Pendidikan Nilai

endidikan merupakan topik yang menarik dan senantiasa aktual untuk dibicarakan, tetapi sekaligus merupakan persoalan yang rumit dan terkesan tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Hal ini dapat dimaklumi, sebab terdapat begitu banyak unsur yang harus diperhitungkan dan berbagai aspek yang bisa dipakai untuk dipertimbangkan dalam pendidikan. Belum lagi persoalan perubahan zaman yang mesti dihadapi baik oleh setiap upaya pendidikan maupun perundang-undangan dan cara-cara regulasi pendidikan yang ditetapkakn oleh pemerintah.
Ada dua arah menyangkut dunia pendidikan. Arah pertama berkaitan dengan pemikiran dasar yang mendalam, karena menyangkut kepentingan utama (peserta didik) pendidikan yang mempersoalkan hakikat pendidikan. Arah inilah yang disebut filsafat pendidikan atau pemikiran dasar pendidikan. Menurut N. Driyarkara, arah dasar ini adalah “pemanusiaan” atau proses yang meliputi humanisasi dan hominisasi, proses membentuk sosok profil manusia dengan mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki penampilan fisik yang sehat, normal, dan wajar kelakuannya. artinya, praktik penyelenggaraan (dalam hal stake holder) pendidikan harus selalu mengacu pada dua hal penting, yakni proses humanisasi dan hominisasi.
Dari arti katanya saja sudah jelas. Humanisasi berarti proses membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga memiliki mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan tentu saja berbudaya. Selain itu, kita mengedepankan lima visi dasar pendidikan manusia abad ke-21 sebagaimana pernah diajukan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific, and Cultural Organization).
Pertama, learning how to think (belajar bagaimana berpikir) yang memuat aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan rasionalitas, keberanian bersikap kritis, mandiri, hobi membaca; kedua, learning how to do (belajar hidup) yang memuat aspek-aspek keterampilan dalam keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; ketiga, learning to be (belajar menjadi diri sendiri) yang berarti aspek mendidik orang agar dikemudian hari orang bisa tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan sekadar memiliki having (materi).
"Being" dan "having", dua kategori filosofis yang mengacu pada cara berada manusia, kedua hal itu sebaiknya kita bedakan, karena sekarang ini orang modern dengan mudah bisa menyamakan keduanya seperti yang sering kita lihat dalam slogan-slogan you are what you have! (pribadi anda ditentukan menurut apa yang anda miliki).
Di sini having punya variasi begitu banyak seperti you are what you wear/drive/eat..., dan seterusnya. Keempat adalah learning how to learn (belajar untuk belajar hidup) yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang perlu juga mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imaginatif. Sedangkan aspek kelima adalah learning how to live together (belajar hidup bersama) yang mensyaratkan pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik dan budaya lain. Di sinilah pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas pelestarian lingkungan, toleransi, perdamaian, penghormatan HAM, menjadi perlu diperhatikan.
Untuk menghidupkan teori-teori diatas tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab guru. Guru yang mendesain pembelajaran harus mampu “membaca tanda-tanda zaman” dalam proses perkembangan peserta didik, seperti unsur-unsur mana yang perlu mendapat perhatian khusus dalam hal ini, aspek-aspek mana dari peserta didik yang perlu dikembangkan, konteks atau lingkungan mana yang perlu diarahkan karena terjadinya perubahan sosial. Mendesaian pembelajaran yang kontekstual merupakan persoalan konkret yang di alami oleh guru dewasa ini.
Untuk itu, guru dituntut agar mampu menerjemahkan kurikulum secara inovatif, kreatif, efektif, dan efesien serta kontekstual atau sesuai dengan kebutuhan sekolah. Guru harus menyadari bahwa perubahan kurikulum bukan sebuah beban baru dalam hal administrasi tetapi sebuah tantangan bagaimana guru menggali kompetensi untuk mendesain pembelajaran yang aktual dan kontekstual.

0 komentar: