EMPAT PILAR KEBANGSAAN
A.
Pengertian Pilar Kebangsaan
Berbicara
tentang pancasila mungkin dianggap sudah begitu klasik dan membosankan bagi
sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim
otoritarian Orde Baru oleh gerakan Reformasi yan memuncak dipertengahan Mei
1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilakukan dan secara sadar mulai dikubur
dalam-dalam dari ingatan kita sendiri. Termasuk pada peringatan kelahirannya
yang ke-68 tahun ini, pun terasa begitu sia-sia saja, seakan tidak ada
urgensinya sama sekali untuk dirayakan atau sekedar direfleksikan dan menjadi
perhatian bersama.
Bila
dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan pancasila
sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu,
Ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh
gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas
jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi 4 pilar kebangsaan Indonesia,
yakni :
- Pancasila
- Bhineka Tunggal Ika
- Undang Undang Dasar 1945
- Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Terlebih
dahulu kita mulai dari mengenal kata “Pilar”, Pilar adalah tiang penguat atau
penyangga. Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan menentukan, karena bila
pilar ini tidak kokoh atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang
disanggannya. Dalam bahasa Jawa tiang penyangga bangunan atau rumah ini disebut
”soko”, bahkan bagi rumah jenis joglo, yakni rumah yang atapnya menjulang
tinggi terdapat empat soko di tengah bangunan yang disebut soko guru. Soko guru
ini sangat menentukan kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang
besar dan dari jenis kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian
orang yang bertempat di rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat
dari berbagai bencana dan gangguan. Demikian pula halnya dengan bangunan
negara-bangsa, membutuhkan pilar atau soko guru yang merupakan tiang penyangga
yang kokoh agar rakyat yang mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram dan
sejahtera, terhindar dari segala macam gangguan dan bencana.
Selanjutnya
bila dihubungkan dengan 4 Pilar Kebangsaan, artinya ada 4 tiang penguat atau
penyangga yang sama-sama kuat, untuk menjaga keutuhan berkehidupan kebangsaan
Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 4 Pilar Kebangsaan adalah 4
penyangga yang menjadi panutan dalam keutuhan bangsa Indonesia.
Gagasan
yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut
dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu
dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Menurut Pak Taufiq Kiemas, 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan
menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta
semua sendi kehidupan bernegara.
B.
Isi 4 Pilar Kebangsaan
A.
PILAR PANCASILA
Pilar
pertama bagi tegak kokoh berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila diangkat sebagai pilar bangsa Indonesia.
Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat
diterima oleh seluruh warga bangsa, mengapa bangsa Indonesia menetapkan
Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut alasannya.
Pilar
atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, yakni disamping
kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya. Misal
bangunan rumah, tiang yang diperlukan disesuaikan dengan jenis dan kondisi
bangunan. Kalau bangunan tersebut sederhana tidak memerlukan tiang yang terlalu
kuat, tetapi bila bangunan tersebut merupakan bangunan permanen, konkrit, yang
menggunakan bahan-bahan yang berat, maka tiang penyangga harus disesuaikan
dengan kondisi bangunan dimaksud. Demikian pula halnya dengan pilar atau
tiang penyangga suatu negara-bangsa, harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa
yang disangganya. Kita menyadari bahwa negara-bangsa Indonesia adalah negara
yang besar, wilayahnya cukup luas seluas daratan Eropah yang terdiri atas
berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang sampai Merauke,
dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote, meliputi ribuan
kilometer. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
17 000 pulau lebih, terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka
adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan, maka belief system
yang dijadikan pilar harus sesuai dengan kondisi negara bangsa tersebut.
Pancasila
dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang
pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi
keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang
terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat
Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat
diterima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya
setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi
pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan
berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan.
Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang
pluralistik.
Pancasila
sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki
konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang
terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh
kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara
Indonesia adalah negara hukum, yang bermakna bahwa hukum harus dijunjung tinggi
dan ditegakkan. Setiap kegiatan dalam negara harus berdasar pada hukum, dan
setiap warganegara harus tunduk dan taat pada hukum. Perlu kita sadari bahwa
satu-satunya norma kehidupan yang diakui sah untuk memaksa warganya adalah
norma hukum, hal ini berarti bahwa aparat pemerintah memiliki hak untuk
memaksa, dan apabila perlu dengan kekerasan, terhadap warganegara yang tidak
mau tunduk dan tidak mematuhi hukum. Memaksa adalah hak asasi aparat
penyelenggara pemerintahan dalam menegakkan hukum.
Suatu
negara yang tidak mampu menegakkan hukum akan mengundang terjadinya situasi
yang disebut anarkhi. Sebagai akibat warganegara berbuat dan bertindak bebas sesuka
hati, tanpa kendali, dengan berdalih menerapkan hak asasi, sehingga yang
terjadi adalah kekacauan demi kekacauan. Dewasa ini berkembang pendapat dalam
masyarakat, aparat yang dengan tegas menindak perbuatan warganegara yang
mengacau dinilai sebagai melanggar hak asasi manusia, bahkan sering diberi
predikat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kita perlu sadar bahwa
negara-bangsa Indonesia dewasa ini sedang dijadikan bulan-bulanan dalam
penerapan dan pembelaan hak asasi manusia. Negara-bangsa Indonesia dibuat lemah
tidak berdaya, sehingga kekuatan luar akan dengan gampang untuk
menghancurkannya. Untuk menangkal pengaruh tersebut negara-bangsa Indonesia
harus menjadi negara yang kokoh, berpribadi, memiliki karakter dan jatidiri
handal sehingga mampu untuk menangkal segala gangguan.
Agar
dalam penegakan hukum ini tidak dituduh sebagai tindak sewenang-wenang, sesuka
hati penguasa, melanggar hak asasi manusia, diperlukan landasan yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dapat diterima oleh rakyat. Landasan tersebut berupa
cita hukum atau rechtsidee yang merupakan dasar filsafati yang menjadi
kesepakatan rakyat Indonesia. Pancasila sebagai cita hukum mengejawantah dalam
dasar negara, yang dijadikan acuan dalam menyusun segala peraturan
perundang-undangan. Pancasila merupakan common denominator bangsa, kesepakatan
bangsa, terbukti sejak tahun 1945 Pancasila selalu dicantumkan sebagai dasar
negara. Pancasila dipandang cocok dan mampu dijadikan landasan yang kokoh untuk
berkiprahnya bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum, dalam menjamin
terwujudnya keadilan.
B.
PILAR UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Pilar
kedua kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia adalah
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memahami dan mendalami UUD 1945, diperlukan
memahami lebih dahulu makna undang-undang dasar bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Tanpa
memahami prinsip yang terkandung dalam Pembukaan tersebut tidak mungkin
mengadakan evaluasi terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya
dan barbagai undang-undang yang menjadi derivatnya.
Makna Undang Undang
Beberapa
pihak membedakan antara pengertian konstitusi dan undang-undang dasar. Misal
dalam kepustakaan Belanda, di antaranya yang disampaikan oleh L.J. van
Apeldoorn, bahwa konstitusi berisi seluruh peraturan-peraturan dasar, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis, yang berisi prinsip-prinsiup dan
norma-norma hukum yang mendasari kehidupan kenegaraan, sedang undang-undang
dasar hanya memuat bagian yang tertulis saja. Istilah undang-undang dasar
sangat mungkin terjemahan dari grondwet (bahasa Belanda), yang berasal dari
kata grond yang bermakna dasar dan wet yang berarti hukum, sehingga grondwet
bermakna hukum dasar. Atau mungkin juga dari istilah Grundgesetz yang terdiri
dari kata Grund yang bermakna dasar dan Gesetz yang bermakna hukum. Sangat
mungkin para founding fathers dalam menyusun rancangan UUD mengikuti pola pikir
ini.
C.
PILAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Sebelum kita bahas mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia ada baiknya bila
kita fahami lebih dahulu berbagai bentuk Negara yang ada di dunia, apa
kelebihan dan kekurangannya, untuk selanjutnya kita fahami mengapa para
founding fathers negara ini memilih negara kesatuan.
Bentuk
Negara seperti konfederasi, federasi dan kesatuan, menurut Carl J. Friedrich,
merupakan bentuk pembagian kekuasaan secara teritorial atau territorial
division oif power. Berikut penjelasan mengenai bentuk-mentuk Negara tersebut.
- Konfederasi. Menurut pendapat L. Oppenheim dalam bukunya Edward M. Sait menjelaskan bawa :”A confederacy consists of a number of full sovereign states linked together for the maintenance of their external and internal independence by a recognized international treaty into a union with organs of its own, which are vested with a certain power over the members-states, but not over the citizens of these states.” Oleh Prof. Miriam Budiardjo diterjemahkan sebagai berikut :”Konfederasi terdiri dari beberapa negarza yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara negara-negara itu.Contoh konfederasi adalah Negara Amerika Serikat yang terdiri atas 13 negara bekas koloni jajahan Inggris. selama 8 tahun yang berakhir pada tahun 1789, karena dipandang merupakan bentuk negara yang kurang kokoh, karena tidak jelas bentuk kepalan negaranya
- Negara Federal. Ada berbagai pendapat mengenai negara federal, karena negara federal yang satu berbeda dengan negara yang lain dalam menerapkan division of power. Menurut pendapat K.C. Wheare dalam bukunya Federal Government, dijelaskan bahwa prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan dari pemerintah negara bagian, sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya, pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal
- Negara Kesatuan. Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian sepenuhnya terletak pada pemerin-tah pusat. Dengan demikian maka kedaulatannya tidak terbagi. Marilah kita mencoba menelaah, sejauh mana Pembukaan UUD 1945 memberikan akomodasi terhadap bentuk negara tertentu, federasi atau kesatuan. Pada alinea kedua disebutkan :” . . . dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kata atau istilah bersatu tidak dapat dimaknai bahwa kedaulatan negara terpusat atau terdistribusi pada pemerintah pusat dan negara bagian, sehingga tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan apakah Negara Republik Indonesia berbentuk federal atau kesatuan. Mungkin salah satu landasan argument bagi bentuk negara adalah rumusan sila ketiga yakni “persatuan Indonesia.” Landasan inipun dipandang tidak kuat sebagai argument ditentukannya bentuk negara kesatuan. Untuk itu perlu dicarikan landasan pemikiran mengapa bangsa Indonesia menentukan bentuk Negara Kesatuan, bahkan telah dinyatakan oleh berbagai pihak sebagai ketentuan final.
Bentuk Negara Kesatuan adalah ketentuan yang diambil oleh para founding fathers
pada tahun 1945 berdasarkan berbagai pertimbangan dan hasil pembahasan yang
cukup mendalam. Namun dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia pernah juga
menerapkan bentuk negara federal sebagai akibat atau konsekuensi hasil konferensi
meja bundar di Negeri Belanda pada tahun 1949. Namun penerapan pemerintah
federal ini hanya berlangsung sekitar 7 bulan untuk kemudian kembali menjadi
bentuk Negara kesatuan.
Sejak
itu Negara Replublik Indonesia berbentuk kesatuan sampai dewasa ini, meskipun
wacana mengenai negara federal masih sering timbul pada permukaan, utamanya
setelah Negara-bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Namun nampaknya telah
disepakati oleh segala pihak bahwa bentuk negara kesatuan merupakan pilihan
final bangsa.
Untuk
dapat memahami bagaimana pendapat para founding fathers tentang negara kesatuan
ini ada baiknya kita sampaikan beberapa pendapat anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Bung
Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, di antaranya mengusulkan
sebagai dasar negara yang akan segera dibentuk adalah faham kebangsaan, sebagai
landasan berdirinya negara kebangsaan atau nationale staat. Berikut kutipan
beberapa bagian dari pidato tersebut. “Di antara bangsa Indonesia, yang paling
ada le desir d’etre ensemble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya
kira-kira 2 ½ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi
Minangkabau bukan suatu kesatuan, melainkan hanya satu bagian daripada satu
kesatuan. Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi
Yogya pun hanya sebagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat Rakyat
Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun satu
bagian kecil daripada kesatuan.
Dari
kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan landasan argumentasi bagi
terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita ikuti lebih lanjut pidato Bung
Karno yang justru memberikan gambaran negara kebangsaan pada negara-negara
federal seperti Jermania Raya, India dan sebagainya. Dengan demikian sila
ketiga Pancasila “persatuan Indonesia,” tidak menjamin terwujudnya negara
berbentuk kesatuan, tetapi lebih ke arah landasan bagi terbentuknya negara
kebangsaan atau nation-state. Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para
founding fathers lebih mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak
zaman penjajahan, waktu perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah
dan kuasai. Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan
kesatuan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat
dipatahkan oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang
dipergunakan sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara
kesatuan.
D.
PILAR BHINNEKA TUNGGAL IKA
Sesanti
atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja
Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam
karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana
dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian
yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam
pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman
agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka
berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian. Pada tahun 1951,
sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
diungkap oleh mPu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai
semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66
tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus
1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam
Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,”
kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang
kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat
dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36 A UUD 1945. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan
semboyan “e Pluribus Unum”, Semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya
diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di
abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas
konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih
dahulu. Kutipan tersebut berasal dari pupuh biat, kekawin Sutasoma yang
lengkapnya sebagai berikut: Jawa Kuna ~Alih bahasa Indonesia~
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua
zat yang berbeda. Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Mangka ng Jinatwa kalawan
Śiwatatwa tunggal,
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Bhinnêka tunggal ika tan
hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak
ada kerancuan dalam kebenaran. Sasanti yang merupakan karya mPu Tantular,
yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam berdharma, oleh
bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, dijadikan semboyan dan
pegangan bangsa dalam membawa diri dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti
halnya Pancasila, istilah Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD
1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya , seperti yang dinyatakan :”
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia,
terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.”
Selanjutnya
dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan :”Di daerah yang bersifat otonom akan
diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan voksgemeenschappen. Daerah
daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai
daerah yang bersifat istimewa.” Maknanya bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan
kenegaraan perlu ditampung keanekaragaman atau kemajemukan bangsa dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang Dasar Sementera tahun
1950, pasal 3 ayat (3) menentukan perlunya ditetapkan lambang negara oleh
Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut terbit Peraturan
Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Baru
setelah diadakan perubahan UUD 1945, dalam pasal 36A menyebutkan :”Lambang
Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan
demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan
bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan
acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal
Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana
cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.
Bhinneka Tunggal
Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar
Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat dalam Lambang
Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951
disebutkan bahwa :
Lambang
Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu: 1. Burung Garuda yang menengok
dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya; 2. Perisai berupa jantung
yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan 3. Semboyan yang
ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan
huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA
TUNGGAL IKA.
C.
OPINI PARA AHLI TERHADAP PANCASILA DALAM 4 PILAR
Namun
belakangan ini, gagasan 4 Pilar Kebangsaan ini dihuhat oleh sejumlah kalangan
yang tidak setuju penempatan Pancasila sebagai Pilar Kebangsaan. Menurut
mereka, Pancasila sebagai pondasi dasar, bukan salah satu pilar dalam kehidupan
kebangsaan.
Selain
itu, beberapa kalangan menganggap 4 Pilar Kebangsaan itu menjadi sebuah doktrin
baru yg sesungguhnya tidak perlu, yang akan mengakibatkan para pelajar hanya
akan hafal 4 Pilar Kebangsaan secara mendetail, sementara Pancasila hanya
menjadi salah satu pilar saja di antara 4 Pilar Kebangsaan itu. Jadi secara
psikologis doktrin 4 Pilar Kebangsaan itu sangat berbahaya bagi kelestarian
Pancasila
D.
CARA MENJAGA 4 PILAR KEBANGSAAN
Ada
empat pendekatan untuk menjaga empat pilar kebangsaan yang terdiri dari
Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Keempat
pendekatan tersebut yaitu pendekatan kultural, edukatif, hukum, dan struktural,
dibutuhkan karena saat ini pemahaman generasi muda terhadap 4 pilar kebangsaan
menipis.
- Pendekatan kultural adalah dengan memperkenalkan lebih mendalam tentang budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap mengedepankan norma dan budaya bangsa. Pembangunan yang tepat, harus memperhatikan potensi dan kekayaan budaya suatu daerah tanpa menghilangkan adat istiadat yang berlaku. Generasi muda saat ini adalah calon pemimpin bangsa, harus paham norma dan budaya leluhurnya. Sehingga di masa depan tidak hanya asal membangun infrasturktur modern, tetapi juga menyejahterakan masyarakat.
- Pendekatan edukatif perlu karena saat ini sangat marak aksi kriminal yang dilakukan generasi muda, seperti tawuran, pencurian, bahkan pembunuhan. Kebanyakan aksi tersebut terjadi saat remaja berada di luar sekolah maupun di luar rumah. Oleh sebab itu perlu ada pendidikan di antara kedua lembaga ini. Di rumah kelakuannya baik, di sekolah juga baik. Namun ketika di antara dua tempat tersebut, kadang remaja berbuat hal negatif. Ini yang sangat disayangkan. Orangtua harus mencarikan wadah yang tepat bagi anaknya untuk memaknai empat pilar kebangsaan semisal lewat kegiatan di Pramuka.
- Pendekatan hukum adalah segala tindakan kekerasan dalam bentuk apapun harus ditindak dengan tegas, termasuk aksi tawuran remaja yang terjadi belakangan. Norma hukum harus ditegakkan agar berfungsi secara efektif sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku kriminal sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain.
- Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan struktural. Keempat pilar ini perlu terus diingatkan oleh pejabat di seluruh tingkat. Mulai dari Ketua Rukun Tetangga, Rukun Warga, kepala desa, camat, lurah sampai bupati/wali kota hingga gubernur.Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.
sumber:
1. Buku PKN Kelas X-XII
2. https://www.facebook.com/notes/mila-septia-sari/empat-pilar-kebangsaan-makalah- pkn/607166876007923/
0 komentar:
Posting Komentar