Kita sekolah bukan hanya untuk belajar, melainkan
untuk hidup. Itulah arti dari dari judul artikel ini. Secara struktural,
peran serta negara dalam hal ini Pemerintah dalam bidang pendidikan
mulai nampak secara nyata sejak pemerintahan Hindia Belanda. Prinsip
pendidikan diselenggarakan agar peserta didik kelak kemudian hari mampu
mencari dan mendapat penghidupan atau pekerjaan untuk kepentingan
kolonial. Kebetulan pula pada abad ke-18 Eropa landa oleh pemikiran
aufklarung, penekan pada akal sehat dan kemerdekaan pribadi ikut
mempengaruhi ideologi pendidikan.
Di Indonesia peran Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional makin menonjol. Agenda nasionalisme secara sistematis (dan juga Hegemonik) disusupkan dalam sistem pendidikan nasional melalui berbagai perangkat sistem mulai dari kurikulum beserta segala perangkatnya termasuk ujian nasional dan standardisasinya. Agenda nasionalisme dijalankan seringkali mengabaikan keberagamaan dan kearifan lokal dari berbagai daerah serta kekhasan institusi masing-masing-masing.
Sekolah harus memiliki kekhasan (karakter)
Kekhasan sekolah tergantung seberapa dalam stakeholder menerjemahkan visi misi ke dalam pembelajaran. Visi misi yang hidup akan nampak warna sekolah. Namun hal yang paling penting dalam pendidikan bagaimana mendorong dan merangsang peserta didik supaya mengenal, mengerti, mencintai, memelihara, dan mengembangkan alam sekitarnya. Keterpaduan antara kemampuan pikir, rasa, tindakan, dan kesadaran dapat dikembangkan langsung dalam kaitannya dengan kehidupan peserta didik secara nyata. Hal ini tidak luput dari peran guru sebagai fasilitator, motivator, Agent of change, dan identitas nasional. Keempat model peran ini harus berfungsi untuk memperhatikan dan memenuhi kebutuhan peserta didik dalam aspek rohani, intelektual, moral, etika, kepribadian, nasionalisme. Perubahan sikap dan mental tidak sekedar perubahan kurikulum atau pendekatan tetapi lebih pada pola sikap ingarso sung tulodo, Ing madyo Mangun karso, Tut wuri handayani.
Di Indonesia peran Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional makin menonjol. Agenda nasionalisme secara sistematis (dan juga Hegemonik) disusupkan dalam sistem pendidikan nasional melalui berbagai perangkat sistem mulai dari kurikulum beserta segala perangkatnya termasuk ujian nasional dan standardisasinya. Agenda nasionalisme dijalankan seringkali mengabaikan keberagamaan dan kearifan lokal dari berbagai daerah serta kekhasan institusi masing-masing-masing.
Sekolah harus memiliki kekhasan (karakter)
Kekhasan sekolah tergantung seberapa dalam stakeholder menerjemahkan visi misi ke dalam pembelajaran. Visi misi yang hidup akan nampak warna sekolah. Namun hal yang paling penting dalam pendidikan bagaimana mendorong dan merangsang peserta didik supaya mengenal, mengerti, mencintai, memelihara, dan mengembangkan alam sekitarnya. Keterpaduan antara kemampuan pikir, rasa, tindakan, dan kesadaran dapat dikembangkan langsung dalam kaitannya dengan kehidupan peserta didik secara nyata. Hal ini tidak luput dari peran guru sebagai fasilitator, motivator, Agent of change, dan identitas nasional. Keempat model peran ini harus berfungsi untuk memperhatikan dan memenuhi kebutuhan peserta didik dalam aspek rohani, intelektual, moral, etika, kepribadian, nasionalisme. Perubahan sikap dan mental tidak sekedar perubahan kurikulum atau pendekatan tetapi lebih pada pola sikap ingarso sung tulodo, Ing madyo Mangun karso, Tut wuri handayani.
0 komentar:
Posting Komentar